Sunday, October 12, 2008

Rindu Seni Kesederhanaan

Semua berubah. Everything. Every-little-thing.
Tempatku tepekur malam-malam di depan rumah memang tidak banyak berubah (kursi kayu jati butut masih yang dulu juga), tapi lanskapnya kini bernuansa lain: menara BTS dengan 2 lampu tandanya; sawah di depan kini tinggal tersisa 1/5 (1/5 sudah menjadi mushala dan kampung para pendatang. 3/5 sisanya kini telah pula dijual oleh pemiliknya dan telah menjadi hamparan tanah urug--artinya akan lebih banyak lagi para pendatang); gangguan suara bising motor-motor lalu-lalang makin rapat jaraknya; lampu-lampu rumah di sudut kanan depan kini telah bertambah lagi jumlahnya.

Ah. Betapa aku kangen dengan teh Malaysia oleh-oleh tetangga. Membayangkan pahitnya yang pas dipadu dengan 1 sendok teh krimer, 1 sendok teh gula, dan 1 cangkir air panas membuat sesak dada oleh rindu seni kesederhanaan di masa-masa itu. Kemarin kulihat botol tempat krimerku masih ada, tapi isinya sudah keras dan kuning. Pagi dini ini aku mencoba membangkitkan kenangan itu, namun aku hanya menemukan teh celup lokal dan air setengah panas di dapur. Tidak sama persis dengan dulu, tapi cukuplah.

Aku sudah tidak bisa lagi menghabiskan 1/3 malam yang kedua dengan menenggelamkan diri di depan rumah seperti malam ini dan malam-malam ketika itu karena besok pagi-pagi aku musti berangkat balik ke Jogja. Mudik lebaran tahun ini jadi pengalaman pertamaku menjadi migran.

Tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Setidaknya kini aku telah menemukan irama pekerjaan baruku, lengkap dengan konflik,

1 comment:

Anonymous said...

hey,slam knal!
tukeran link yuk?